Bagaimana Sesungguhnya Kesehatan Mental di Indonesia ?



Pada negara berkembang, kesehatan mental bukanlah topik yang umum untuk dibahas, bahkan mungkin tidak dibahas sama sekali akibat stigma yang negatif. Putra Wiramuda (2017) menyatakan bahwa 4 dari 5 penderita gangguan mental belum mendapatkan penanganan yang sesuai dan pihak keluarga pun hanya menggunakan kurang dari 2% pendapatannya untuk penanganan penderita. Di Indonesia, stigma terhadap penderita menyebabkan para penderita semakin sulit untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

Menurut Corrigan (2004), stigma terhadap gangguan mental semakin hari semakin memburuk. Beberapa gangguan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan sosial memiliki simtom atau gejala yakni merasa diri terisolasi dan tidak nyaman bila bertemu dengan orang lain, maka dapat dibayangkan kondisi orang dengan gangguan mental yang memiliki simtom tersebut akan semakin diperburuk dengan label negatif dari masyarakat.

Akibat adanya stigma yang negatif terhadap orang dengan gangguan, penanganan yang tepat menjadi sulit untuk didapatkan dan mereka pun juga disolasi oleh lingkungannya. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, sebanyak 56.000 orang dengan gangguan mental dipasung akibat adanya stigma yang negatif, informasi yang kurang memadai dan fasilitas penanganan yang buruk.

Selain itu, pada tahun 2007, Riskesdas mencatat bahwa sebanyak 1 juta orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat dan 19 juta orang dengan gangguan jiwa ringan hingga sedang, dengan jumlah yang secara signifikan makin meningkat. Itu yang baru tercatat, lalu bagaimana dengan yang tidak?

Jika terus-menerus terpinggirkan, maka isu kesehatan mental akan berpengaruh buruk bagi Indonesia. Dampaknya nyata bagi perekonomian akibat menurunnya produktivitas. DALY (Disability-Adjusted Life Year) atau waktu yang hilang selama setahun dari orang dengan gangguan mental ternyata 12,5% lebih besar daripada penderita penyakit jantung sistemik dan TBC . (Director Of Medical Service, 2003-2012)

WHO (World Health Organization) dan WEF (World Economic Forum) menyatakan bawa gangguan mental menjadi beban ekonomi terbesar di seluruh dunia jika dibandingkan dengan isu kesehatan yang lainnya. Pada tahun 2010, sebanyak $2,5 triliun dikeluarkan dan diperkirakan meningkat menjadi $16 triliun pada tahun 2030 karena 2/3 dari hilangnya dana digunakan untuk disabilitas dan kehilangan pekerjaan. Secara tegas, WHO pun menyatakan bahwa pembangunan kesehatan fisik dan mental secara berimbang adalah sebuah kewajiban yang harus ditanggung bersama oleh pemerintah dan segenap masyarakat. (WHO, 2013)

Berdasarkan kenyataan tersebut sudah sepatutnya masyarakat untuk lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental karena berdampak langsung terhadap perekonomian negara dan mempengaruhi indeks pembangunan manusia. Perilaku negatif dan stereotip bahwa orang dengan gangguan mental adalah seorang aneh dan berbahaya yang sering disematkan masyarakat semakin mempersulit orang dengan gangguan mental untuk dapat menerima penanganan yang sesuai dan menghambat proses kesembuhan dan adaptasi sosial mereka.

Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental, yakni:
Pertama, mengurangi stigma negatif terhadap para penderita serta menyadari bahwa para penderita sebenarnya juga merupakan seorang manusia yang layak untuk mendapatkan perhatian dan penanganan yang sesuai.
Kedua, dibutuhkan kepekaan terhadap sanak keluarganya. Bila salah seorang anggota keluarga terlihat memiliki beberapa gejala yang mengarah pada gangguan mental.
Ketiga, menyediakan waktu untuk mendengarkan dengan tulus dan mengajak kerabat untuk berkonsultasi ke psikolog menjadi langkah awal penanganan.
Keempat, kesadaran bahwa kondisi gangguan mental sama pentingnya dengan kondisi gangguan fisik perlu ditingkatkan. Berkaitan dengan itu, pemerintah dapat memberikan sosialisasi dan edukasi tentang gangguan mental untuk mengurangi stigma dan salah persepsi yang sering disematkan masyarakat kepada penderita.
Kelima, penyediaan fasilitas dan kualitas penanganan penderita juga perlu diperhatikan agar penanganan menjadi lebih maksimal. Sudah saatnya alokasi dana tidak hanya berfokus untuk kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental, mengingat banyak riset yang menyatakan bahwa sebagian besar masalah kesehatan fisik berakar pada masalah mental.


Sumber:
Corrigan, P. (2004). How Stigma Interferes With Mental Health Care. American Psychologist, 59(7), 614-625.
Director of Medical Service. (2003-2012). State of Health. Singapore: Ministry of Health.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. (2007). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. (2013). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Wiramuda, P. (2017). Berkaca dari Kematian Chester Bennington: Refleksi Kesadaran Masyarakat akan Kesehatan Mental di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
World Health Organization. (2013). Investing In Mental Health: Evidence For Action. Switzerland: WHO Press.




Pada negara berkembang, kesehatan mental bukanlah topik yang umum untuk dibahas, bahkan mungkin tidak dibahas sama sekali akibat stigma yang negatif. Putra Wiramuda (2017) menyatakan bahwa 4 dari 5 penderita gangguan mental belum mendapatkan penanganan yang sesuai dan pihak keluarga pun hanya menggunakan kurang dari 2% pendapatannya untuk penanganan penderita. Di Indonesia, stigma terhadap penderita menyebabkan para penderita semakin sulit untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

Menurut Corrigan (2004), stigma terhadap gangguan mental semakin hari semakin memburuk. Beberapa gangguan mental seperti depresi dan gangguan kecemasan sosial memiliki simtom atau gejala yakni merasa diri terisolasi dan tidak nyaman bila bertemu dengan orang lain, maka dapat dibayangkan kondisi orang dengan gangguan mental yang memiliki simtom tersebut akan semakin diperburuk dengan label negatif dari masyarakat.

Akibat adanya stigma yang negatif terhadap orang dengan gangguan, penanganan yang tepat menjadi sulit untuk didapatkan dan mereka pun juga disolasi oleh lingkungannya. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, sebanyak 56.000 orang dengan gangguan mental dipasung akibat adanya stigma yang negatif, informasi yang kurang memadai dan fasilitas penanganan yang buruk.

Selain itu, pada tahun 2007, Riskesdas mencatat bahwa sebanyak 1 juta orang di Indonesia mengalami gangguan jiwa berat dan 19 juta orang dengan gangguan jiwa ringan hingga sedang, dengan jumlah yang secara signifikan makin meningkat. Itu yang baru tercatat, lalu bagaimana dengan yang tidak?

Jika terus-menerus terpinggirkan, maka isu kesehatan mental akan berpengaruh buruk bagi Indonesia. Dampaknya nyata bagi perekonomian akibat menurunnya produktivitas. DALY (Disability-Adjusted Life Year) atau waktu yang hilang selama setahun dari orang dengan gangguan mental ternyata 12,5% lebih besar daripada penderita penyakit jantung sistemik dan TBC . (Director Of Medical Service, 2003-2012)

WHO (World Health Organization) dan WEF (World Economic Forum) menyatakan bawa gangguan mental menjadi beban ekonomi terbesar di seluruh dunia jika dibandingkan dengan isu kesehatan yang lainnya. Pada tahun 2010, sebanyak $2,5 triliun dikeluarkan dan diperkirakan meningkat menjadi $16 triliun pada tahun 2030 karena 2/3 dari hilangnya dana digunakan untuk disabilitas dan kehilangan pekerjaan. Secara tegas, WHO pun menyatakan bahwa pembangunan kesehatan fisik dan mental secara berimbang adalah sebuah kewajiban yang harus ditanggung bersama oleh pemerintah dan segenap masyarakat. (WHO, 2013)

Berdasarkan kenyataan tersebut sudah sepatutnya masyarakat untuk lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental karena berdampak langsung terhadap perekonomian negara dan mempengaruhi indeks pembangunan manusia. Perilaku negatif dan stereotip bahwa orang dengan gangguan mental adalah seorang aneh dan berbahaya yang sering disematkan masyarakat semakin mempersulit orang dengan gangguan mental untuk dapat menerima penanganan yang sesuai dan menghambat proses kesembuhan dan adaptasi sosial mereka.

Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental, yakni:
Pertama, mengurangi stigma negatif terhadap para penderita serta menyadari bahwa para penderita sebenarnya juga merupakan seorang manusia yang layak untuk mendapatkan perhatian dan penanganan yang sesuai.
Kedua, dibutuhkan kepekaan terhadap sanak keluarganya. Bila salah seorang anggota keluarga terlihat memiliki beberapa gejala yang mengarah pada gangguan mental.
Ketiga, menyediakan waktu untuk mendengarkan dengan tulus dan mengajak kerabat untuk berkonsultasi ke psikolog menjadi langkah awal penanganan.
Keempat, kesadaran bahwa kondisi gangguan mental sama pentingnya dengan kondisi gangguan fisik perlu ditingkatkan. Berkaitan dengan itu, pemerintah dapat memberikan sosialisasi dan edukasi tentang gangguan mental untuk mengurangi stigma dan salah persepsi yang sering disematkan masyarakat kepada penderita.
Kelima, penyediaan fasilitas dan kualitas penanganan penderita juga perlu diperhatikan agar penanganan menjadi lebih maksimal. Sudah saatnya alokasi dana tidak hanya berfokus untuk kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental, mengingat banyak riset yang menyatakan bahwa sebagian besar masalah kesehatan fisik berakar pada masalah mental.


Sumber:
Corrigan, P. (2004). How Stigma Interferes With Mental Health Care. American Psychologist, 59(7), 614-625.
Director of Medical Service. (2003-2012). State of Health. Singapore: Ministry of Health.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. (2007). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. (2013). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Wiramuda, P. (2017). Berkaca dari Kematian Chester Bennington: Refleksi Kesadaran Masyarakat akan Kesehatan Mental di Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
World Health Organization. (2013). Investing In Mental Health: Evidence For Action. Switzerland: WHO Press.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Emosi Positif vs Emosi Negatif

MENGONTROL EMOSI DENGAN DIAM